LENTERAJATENG, SOLO – Sulastri (46) tampak sibuk memotong tangkai bunga bagian bawah yang sudah membusuk.
Setelah memotong tangkai, dia menatanya kembali ke dalam puluhan wadah berisi air yang berjajar di rak. Sembari memotong tangkai-tangkai, dia juga memilih mahkota bunga yang tak segar untuk dibuang.
Nggak gampang merawat bunga tangkai agar terlihat segar dan awet. Setidaknya dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran dalam merawat bunga-bunga tersebut.
“Setiap hari air di dalam wadah harus diganti supaya bunga tangkainya tetap segar,” ujar pedagang bunga tersebut dikutip dari laman resmi Pemkot Solo.
Sudah 32 tahun dirinya berjualan bunga di Pasar Kembang, Solo, sehingga dia begitu hafal momentum atau musim bunga laris terjual.
Seperti saat ini, menjelang bulan Ramadan, orang mulai menyerbu penjual kembang tabur atau bunga tangkai untuk keperluan nyadran.
Maka seiring dengan musim ramai penjualan bunga, seluruh pedagang bunga yang berada di kawasan Pasar Kembang mulai menyetok persediaan bunga lebih banyak lagi, agar tidak kehabisan dan mengecewakan pembeli.
Tradisi sadranan atau nyadran, menjadi tradisi yang tak bisa lepas dari masyarakat Solo dan banyak daerah lain. Tradisi ini merupakan kearifan lokal yang masih hidup dan berkembang. Tidak hanya masyarakat desa, namun masyarakat kota juga melakukan tradisi sadranan atau nyadran.
Nyadran adalah tradisi turun temurun pada bulan ruwah menjelang bulan puasa, maka sering disebut ruwahan.
Pada momen tersebut biasanya dimanfaatkan orang untuk ziarah ke pemakaman sembari memanjatkan doa dan ampunan bagi yang meninggal dunia dan menaburkan bunga atau meletakkan rangkaian bunga tangkai pada pusara, sebagai tanda bakti ke para leluhurnya. Biasanya dibarengi dengan membersihkan sekitar makam, batu nisan dan rumput-rumput liar.
Pada bulan ruwah, permintaan bunga tabur dan bunga tangkai segar secara otomatis akan meningkat.
Momentum ini merupakan saat mendulang rezeki bagi Sulastri dan teman-temannya sesama pedagang di Pasar Kembang.
Selama momen nyadran ini, beberapa pedagang meraup untung lumayan besar dan sedikitnya setiap pedagang bisa menghabiskan 1 hingga 2 kilogram bunga tabur setiap hari.
Bunga tabur berupa mawar putih dan mawar merah sebagian besar banyak didatangkan dari daerah Musuk, Kabupaten Boyolali dan Bandungan (Kabupaten Semarang). Sementara bunga tangkai banyak didatangkan dari Bandungan hingga Malang, Jawa Timur.
Sulastri menjelaskan, di bulan ruwah ini, selain warga Solo, pembeli juga banyak dari luar kota. Mereka yang dari luar kota biasanya memang sengaja pulang ke Solo untuk nyekar leluhurnya di beberapa Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang banyak tersebar di wilayah Solo.
Bagi dia, tidak hanya bulan ruwah bunga di Pasar Kembang diserbu pembeli, namun saat wisuda sarjana, pernikahan, valentine dan dekorasi untuk gereja pada perayaan ibadah, penjualan bunga juga mengalami peningkatan.
Kehidupan para penjual bunga di Pasar Kembang, rata-rata memang sudah berdagang cukup lama. Dari hasil berdagang bunga, Sulastri sudah bisa membiayai sekolah kedua anaknya dan menyukupi kebutuhan hidup keluarganya dengan baik di desa.
Uniknya, Pasar Kembang ini buka hampir 24 jam. Para pedagang terbiasa melayani pembeli hingga larut malam.
“Di sini buka hampir 24 jam, pagi, siang, sore, malam selalu buka,” ujar Sulastri.
Jerih payah Sulastri dan teman-temannya berjualan di Pasar Kembang memang pantas diapresiasi. Sebab, warga Solo tak lagi kesulitan mencari bunga tabur atau bunga tangkai saat diperlukan untuk suatu acara.