LENTERAJATENG, SEMARANG – Polda Jateng baru saja mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang melalui pemberangkatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal. Salah satu cara yang dilakukan untuk menyelundupkan TKI ini adalah dengan memalsukan stempel imigrasi.
Pihak kepolisian telah menyita aneka barang bukti dari kejahatan ini. Di antaranya dokumen dari Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Jawa Tengah, aneka paspor, tiket-tiket pesawat penerbangan internasional di antaranya dari Surabaya ke Johor Bahru Malaysia, aneka stempel.
Dari salah satu tiket yang jadi barang bukti penerbangan Surabaya ke Johor Baru Malaysia itu diketahui seharusnya berangkat hari ini menggunakan Pesawat Air Asia QZ 392, terbang pukul 15.30 WIB dari Terminal 2 Bandara Juanda Surabaya dan tiba di tujuan terjadwal pukul 18.45 di Senai International Airport Johor Bahru Malaysia.
Ketua Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Polda Jateng, Brigjen Pol Abioso menuturkan, modus lain tersangka yang diungkap ini antaranya adalah, memalsukan stempel perpanjangan visa dari orang-orang yang direkrutnya. Maka, seolah-olah ketika dilakukan pemeriksaan rutin imigrasi, mereka sudah memperpanjang untuk keperluan wisata.
Ia juga mengemukakan bahwa proses pemberangkatan mereka banyak yang menyalahi aturan. Seperti ketidaksesuaian visa dan paspor.
“Kami mengimbau agar masyarakat tidak mudah percaya dengan janji-janji atau iming-iming gaji besar,” tegas Abi, saat konferensi pers di Mapolda Jateng, Senin (12/6/2023).
Abi yang juga Wakapolda Jateng tersebut menjelaskan, di antara para pekerja tersebut ada yang diberangkatkan (seolah-olah) wisata. Namun ketika sampai di negara tujuan, ternyata kemudian bekerja.
Dari pengungkapan kasus ini, 1.305 warga Jawa Tengah telah menjadi korban TPPO. Sebanyak 1.137 orang sudah berangkat dan 168 orang belum diberangkatkan ke luar negeri.
Diiming-imingi Gaji Besar, Cara Agen Berangkatkan TKI Ilegal
Sementara Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3PMI) Jawa Tengah Pujiono mengungkapkan, rata-rata para korban teriming-iming gaji besar. Walaupun pendidikannya rendah.
“Di Korsel seperti manufaktur atau perikanan, gajinya sampai Rp 23 juta. Kalau di sini (dengan pendidikan rendah) tidak sampai segitu (gajinya),” tambah Pujiono.
Dirinya berharap kedepan persoalan TPPO ini bisa dicegah dan diungkap dari kerjasama dan sinergitas yang terjalin antar pemangku kepentingan terkait.
Salah satu tersangka berinisial S mengaku dulunya sebagai ABK bekerja di Taiwan. Dia kemudian merekrut beberapa kawannya untuk bekerja di tempat yang sama.
“Tiga tahun lalu (jadi ABK),” sahut S.