LENTERAJATENG, SEMARANG – Angkutan yang melanggar dimensi dan muatan atau over dimension and over load (ODOL) masih menjadi persoalan yang belum bisa terselesaikan hingga saat ini.
Menyikapi hal itu, Presiden Joko Widodo diminta untuk turun tangan.
Pengamat Transportasi sekaligus Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan, angkutan ODOL dinilai sudah membudaya dan sulit untuk ditertibkan.
Oleh karenanya perlu ada terobosan program agar persoalan itu dapat diselesaikan secara komperhensif.
“Diperlukan Instruksi Presiden untuk menuntaskannya, tidak cukup bisa diselesaikan di Kementerian Perhubungan (apalagi cuma Ditjenhubdat),” terangnya, Rabu (21/12/2022).
Pembenahan, kata dia, harus mulai dari hulu hingga hilir dan harus ada kebijakan komprehensif dan diterapkan secara konsisten. Menurutnya, tidak cukup bisa diselesaikan di Kementerian Perhubungan, apalagi cuma Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Disampaikan Djoko, sistem logistik nasional saat ini dinilai masih banyak masalah. Oleh karena itu, perlu keikutsertaan Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Bappenas. Kepolisian RI dan TNI.
Dampak yang ditimbulkan
Menurut Djoko, banyak dampak negatif yang ditimbulkan jika angkutan ODOL tersebut tidak segera ditertibkan, antara lain seperti kerusakan infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan, termasuk penyebab kecelakaan lalu lintas dan tingginya biaya perawatan insfrastruktur.
“Sekarang, setiap hari pasti ada kecelakaan truk yang melanggar dimensi dan muatan. Di jalan tol, truk ODOL ditabrak kendaraan dari belakang, di jalan non tol truk ODOL menabrak kendaraan di muka atau aktivitas di sepanjang jalan,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tahun 2022, kendaraan ODOL menjadi penyebab 349 kecelakaan dalam kurun lima tahun terakhir. Rinciannya, 107 kasus pada 2017; 82 kasus pada 2018; 90 kasus pada 2019; 20 kasus pada 2020; dan 50 kasus pada 2021.
“Sensitifitas para pengusaha, baik pemilik barang, maupun pemilik truk terhadap keselamatan juga sangat rendah. Perlindungan keselamatan terhadap pengemudi dan keluarganya minim sekali,” ungkapnya.
“Jika terjadi kecelakaan lalu lintas, pengemudi dalam kondisi hidup dipastikan dijadikan tersangka. Namun jika pengemudi meninggal, maka keluarganya yang akan merana, tidak ada jaminan dari pemilik truk maupun pemilik barang,” lanjutnya.
Dengan kondisi itu, kata dia, populasi pengemudi truk saat ini makin menurun karena beralih profesi yang lebih menjamin masa depan keluarganya. Jika hal itu dibiarkan, tidak menutup kemungkinan Indonesia tidak memiliki pengemudi truk yang profesional karena bayarannya amatiran.
Kehadiran truk angkutan yang melanggar dimensi dan muatan juga dinilai hanya dinikmati oleh pengusaha, khususnya pemilik barang walaupun melanggar aturan.
Upaya untuk mengajak Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) selama ini juga selalu tidak ditanggapi dengan serius.
“Bahkan setiap akan diterapkan kebijakan, selalu menebar teror ke masyarakat dengan mengatasnamanakan harga barang akan naik, akan terjadi inflasi, sopir akan demo dan sebagainya. Padahal kondisi di lapangan tidak seperti itu,” ungkapnya.