Bung Karno berpesan bahwa, urusan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Hal itu ia sampaikan dalam pidato peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang sekarang bernama Institut Pertanian Bogor (IPB), 27 April 1952. Dalam kesempatan yang sama, beliau juga berpesan agar urusan pangan diserahkan kepada ahlinya.
Menjelang 70 tahun dari peristiwa tersebut, kita harus merefleksikan diri sudah sejauh mana pesan Bung Karno tersebut mampu diwujudkan. Namun, jika melihat nasib petani hari ini cukup memprihatinkan, penghasilan petani berada jauh dibawah UMP (UMR/UMK).
Penyebabnya kepemilikan lahan berkurang sementara harga beli gabah petani masih sangat rendah, ada 1.317.118 petani gurem di Jawa Tengah yang penghasilannya dibawah UMP (Rp 1.813.011).
Petani yang memiliki lahan 2 ribu meter persegi, pendapatan mereka berkisar Rp 600 ribu – Rp 800 ribu per bulan.
Perlu langkah-langkah konkrit, harus mampu “Mencangkul Kesejahteraan Petani”. Dimulai dengan adanya keberpihakan anggaran, jaminan usaha hulu-hilir serta pemberdayaan yang tepat guna.
FAO memprediksi dunia harus meningkatkan produksi pangan sebanyak 70 persen pada 2050. Populasi global terus bertambah secara cepat, sementara jumlah sumber daya lahan terus menyusut. Jumlah penduduk Indonesia tercatat 264 juta orang pada 2018, meningkat sebesar 1,27 persen dari 2017. Sementara itu, Petani Gurem di Jawa Tengah rata-rata memiliki lahan hanya 0,15 hektar, sehingga perlu adanya inovasi-inovasi yang mampu memaksimalkan sumberdaya lahan yang terbatas.
Saat ini, para petani terjebak dalam ketergantungan akan pupuk urea yang disubsidi oleh pemerintah. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) 2020 mencatat ada 13,9 juta petani dengan usulan pupuk total mencapai 26,2 juta ton, padahal pemerintah hanya memenuhi 8,9 juta ton.
Alhasil, banyak petani gurem yang tidak mendapatkan pupuk subsidi. Maka petani harus kembali menggunakan pupuk organik, karena selain menyehatkan tanah sumber dayanya pun ada di sekitarnya. Tanah akan kembali sehat, subur seperti dalam syair lagu Koes Plus “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Pemerintah juga perlu membuat demplot percontohan, agar terbentuk keyakinan petani untuk menggunakan pupuk organik. Perlu adanya hasil riset untuk mendukung percepatan pemulihan tanah lahan pertanian dengan singkat, sehingga petani bisa segera memanen hasil pertanian dengan maksimal.
Harga Beras
Padi yang dihasilkan oleh petani, nantinya akan menjadi beras “emas putih” sebagai bahan pokok. Indonesia sendiri merupakan salah satu konsumen beras terbesar di dunia dengan konsumsi beras nasional per kapita pada 2017 sebesar 97,6 Kilogram dan diperkirakan meningkat 1,5 persen per tahun menjadi 99,08 Kilogram per kapita pada 2025. Peningkatan ini terjadi seiring dengan laju pertambahan penduduk.
Dikutip dari laman beritasatu.com, Jepang memiliki harga beras termahal di dunia dengan harga rata-rata beras per kilogram mencapai US$ 5,35 atau Rp 77 ribu per kilogram per September 2020, sementara Argentina termurah di dunia dengan harga sekitar Rp 8.600. Indonesia memiliki harga beras sekitar Rp 12.850, menempatkannya di urutan ke-49 dari 58 negara yang disurvei, atau urutan ke-10 negara dengan harga beras termurah.
Menurut data GlobalProductPrices.com, harga rata-rata beras di dunia adalah US$ 1,55 per kilogram. Harga diambil berdasarkan varian beras putih long grain dari merek terkenal dan dari toko-toko makanan terbesar di setiap negara.
Kilas balik ke era 2000-an, nilai beras jika dibandingkan dengan nilai emas cukup jauh perbandingannya. Pada awal 2000, nilai 1 gram emas sama dengan 23 Kilogram beras, sedang pada tahun 2020 nilai 1 gram emas sama dengan 81 Kilogram beras. Disimpulkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun, nilai emas terhadap beras meningkat sekitar 3-4 kali lipat.
Keadilan Informasi
Persoalan yang dihadapi di sektor pangan tidak berubah, hanya saja kita belum sampai kedalam penyelesaianya. Kita disibukkan dengan urusan penyaluran subsidi yang kerap terjadi penyimpangan dan salah sasaran, hingga lupa berinovasi dalam sektor pangan. Maka seyogyanya metode subsidi ini diubah menjadi metode yang tepat dan fleksibel, yakni menjadi subsidi langsung kepada petani, hal ini akan lebih efektif dan memudahkan pengontrolan di era modern seperti ini.
Persoalan data pertanian juga menjadi momok tersendiri, minimnya data yang dimiliki menyebabkan lemahnya manajemen. Sehingga produksi dan serapan produksi tidak seimbang atau sebaliknya. Pendataan usaha pertanian kita belum digarap dengan baik, sehingga produksi dan serapan produksi tidak seimbang atau sebaliknya. Suatu komoditas ada yang survus sementara di lain sisi ada potensi yang belum tergarap, namun sayangnya pemerintah lebih memilih cara yang instan yakni dengan impor. Hadirnya Holding BUMN Pangan harapannya mampu menjawab permasalah ini.
Petani harus diberikan informasi pasar yang mencakup kebutuhan produk, harga produk, pasar produk dan lainnya. Penyaluran informasi ini dengan melibatkan desa atau kelurahan, agar daerah yang masih minim akses internet bisa terbantukan. Bila perlu petani harus mendaftarkan apa yang akan ditanamnya, sehingga pemerintah memiliki data informasi berapa produksi yang akan dihasilkan dalam periode tertentu atas komoditas tertentu. Apabila perkiraan produksi sudah melebih kapasitas, pemerintah bisa menganjurkan petani untuk berusaha di komoditas lainnya.
Andil Para Ahli
Proses “Mencangkul Kesejahteraan Petani” ini tentu tidak akan begitu saja terwujud apabila tidak ada andil dari para ahli dibidangnya. Peranan akademisi kampus untuk ikut serta membangun Indonesia dari sektor pangan sangat diharapkan, ruang untuk para akademisi untuk kebijakan sektor pangan harus dibuka lebar-lebar. Pemerintah harus memberikan dukungan dana untuk riset, sehingga akan tercipata pengetahuan dan teknologi baru, hadir Ekonomi Padi, Ekonomi Sayuran dan lain sebagainya.
Perlu juga digaris bawahi bahwa menguatnya kekuatan pangan harus sebanding dengan menguatanya para pelaku utama pangan. Semoga dengan mencangkul, akan tergali semangat kita bersama untuk kembali mencapai kejayaan pangan bangsa dan negara ini.
Sumanto SH, Ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah