LenteraJateng, PURWOREJO – Heri Pudyatmoko ingin seni dan budaya tradisional yang ada di Jateng dan Indonesia umumnya, tetap lestari. Tujuannya agar anak cucu mengenal dan mengetahui budaya asli Indonesia sehingga tidak hilang atau diaku milik negara lain.
Wakil Ketua DPRD Jateng Heri Pudyatmoko menyampaikan hal itu, saat Dialog Kebudayaan dan Pagelaran Tari Ndolalak di Hotel Sanjaya Purworejo, Sabtu (12/2/2022). Kegiatan tersebut selenggarakan oleh DPRD Jateng sebagai upaya melestarikan seni tradisi yang ada di masyarakat.
Melestarikan budaya, sebagai wujud syukur kepada Sang Maha Pencipta. Ia berpesan, untuk memberikan anak cucu, budaya yang mendidik sesuai dengan falsafah dan histori Bangsa Indonesia.
“Indonesia memiliki kebudayaan yang banyak dan beragam. Sayangnya tidak semua generasi muda paham dan mengerti keberagaman budaya aslinya. Mereka justru malah mengagumi dan memuja-muja budaya luar dan tidak mencerminkan nasionalisme,” kata Heri Pudyatmoko saat hadir secara virtual.
Jika sebagai warga negara, tidak memelihara kebudayaan maka bisa hilang atau punah dan kemungkinan bisa diaku menjadi budaya negara lain, terutama yang serumpun.
“Jika dari ikrar Sumpah Pemuda yang membahas tentang Tanah Air, sudah jelas jika Tanah Air kita Tanah Air Indonesia. Indonesia kaya akan budaya. Namun jika kita tidak memeliharanya, serta berusaha melestarikan, kebudayaan akan hilang tergulung zaman,” tutur Heri yang tidak bisa hadir secara langsung karena angka positif Covid-19 di Jateng terus meningkat.
Dialog budaya ini juga menghadirkan Pelaku Seni Tari Krisyanti Tri Astuti, dan Pemerhati Budaya Purworejo Verra Anggraeni Purwaningrum.
Menurut Verra Anggraeni, kesenian tradisional merupakan sarana hasil dari cipta rasa dan karsa manusia, sehingga juga bisa jadi identitas dari daerah. Sebagai contoh, tarian Ndolalak yang merupakan identitas kesenian masyarakat Purworejo dan sekitar, yang tidak ada di daerah lain.
Sejarah Tari Ndolalak, Heri Pudyatmoko Ingin Seni Budaya Indonesia Tetap Lestari
Tari Ndolalak sambungnya, merupakan bagian sejarah dari Purworejo dan beberapa daerah sekitar. Tarian tersebut menggambarkan perilaku serdadu kolonial Belanda ketika beristirahat di kamp yang ada di sekitar wilayah Purworejo.
Pada saat beristirahat para serdadu Belanda, pesta dan berdansa. Masyarakat sekitar kamp yang sering melihat aktivitas tersebut kemudian menirukannya dan terciptalah gerakan sederhana dan berulang-ulang. Nama Ndolalak dari nada DO dan LA karena awalnya tarian ini hanya dengan iringan nada do dan la.
Pelaku Tari Ndolalak Krisyanti Tri Astuti menambahkan, seni tari itu memang sempat menjadi kontroversi karena ada sebagian yang menganggapnya sebagai tarian erotis. Bahkan beberapa kalangan sempat melarang penampilan kesenian tradisional ini. Hal itu karena kostum yang penari kenakan, banyak meniru seragam para serdadu Belanda yang senang menggunakan celana pendek saat bertugas maupun pesta.
“Namun saat ini penari Ndolalak bisa menyesuaikan, saat menarikan di depan anak-anak ataupun kelompok agama, mereka mengenakan celana yang sopan hingga menutup lutut. Ini untuk menyesuaikan dengan norma yang ada. Namun dalam pentas umum, tetap menggunakan kostum yang memang jadi ciri khas tarian ini,” tuturnya.
Ia menambahkan, butuh peran pemerintah daerah dan kesadaran masyarakat untuk melestarikan kesenian tradisional semacam Tari Ndolalak ini. Keberhasilan pelestarian kesenian tradisional tergantung dari kemampuan pemerintah daerah bersama dengan DPRD. Antara lain, dengan merumuskan program dan kebijakan yang langsung bersentuhan dengan kelompok kelompok kesenian.
“Dan juga peran serta dari pemerintah daerah dalam membantu menunjang sarana prasarananya,” tambahnya.
Pembinaan terhadap kelompok seni tradisional sangat perlu dalam usaha melestarikan kesenian tradisional. Harapan dari pelaku Tari Ndolalak, kesenian tradisional ini masih dapat lestari sampai anak cucu.