LenteraJateng, SURAKARTA — Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta meluluskan Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Habiburokhman dengan predikat cumlaude sebagai Doktor Ilmu Hukum.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, merupakan Ketua Tim Penguji menyatakan bahwa Habiburokhman lulus dengan IPK 3,77.
“Berdasarkan prestasi yang Saudara Promovendus raih selama ini dan berdasarkan hasil Ujian Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret maka Saudara Habiburokhman dinyatakan lulus dengan predikat dan IPK 3,77,” bebernya.
Sebelumnya, Habiburokhman memaparkan disertasinya yakni, “Membangun Model Penegakan Hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) melalui Modernisasi Pertanggungjawaban Pidana dengan Keadilan Restoratif.”.
Dalam ujian promosi ia memaparkan topik tersebut lantaran terdapat persoalan dalam penegakan hukum tindak pidana pemenuhan unsur yang cenderung subjektif.
“Penyebabnya adalah ajaran monistis yang dalam praktiknya menjadikan unsur subjektif atau manusia sebagai sekunder,” beber politikus Partai Gerindra itu.
“Sepanjang unsur objektif dipandang telah terpenuhi maka pemenuhan unsur kesengajaan berkedudukan sebagai pelengkap,” lanjutnya.
Habiburokhman menyampaikan, pentingnya pendekatan keadilan restoratif untuk menyelesaikan problematika yang kerap timbul dari UU ITE.
Sambungnya, agar sistem hukum pidana menjamin tercapainya aksiologi hukum yang adil pada Pasal 28D Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dapat terwujud.
“Maka pendekatan keadilan restoratif sangat diperlukan sebagai pengembangan konsepsional penerimaan doktrin dualistis dalam penerapan hukum pidana,” paparnya.
Restorative justice berlaku sebagai alasan penghapus kesalahan atau pertanggungjawaban pidana,” sambungnya.
Tidak kalah penting, lanjut dia, rumusan ujaran kebencian dalam UU ITE perlu perbaikan agar tidak multitafsir dan keberadaan restorative justice.
Karena menurutnya untuk membuat mekanisme penyelesaian secara damai pentingnya atran dalam suatu UU tersendiri..
“Misalnya, apa frasa golongan itu? Sampai sekarang tidak ada rujukan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penuntut umum tidak mampu menguraikan unsur kesalahan atau kesengajaan secara objektif dapat dilihat dalam perkara,” ungkap Habiburokhman.
Editor: Puthut Ami Luhur